Rabu, 03 Februari 2021

Menggali Spirit Pancasila Dari Bali , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #9

Menggali Spirit Pancasila Dari Bali 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #9

Menggali Spirit Pancasila Dari Bali

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


SETELAH beberapa hari mengunjungi Sumba dan Ende, NTT, selanjutnya Tim Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengunjungi Bali dengan missi yang sama yaitu menggali berbagai nilai dan laku hidup masyarakat yang bisa dijadikan acuan dalam merumuskan strategi pembudayaan Pancasila.

Seperti halnya saat di NTT tiSaat diskusi Yudha Bantono, sebagai pegiat seni budaya di Bali yang sudah puluhan kali merintis pelaksanaan festival dan menangani berbagai event kebudayaan, memaparkan bahwa festival merupakan cara yang efektif untuk mengali nilai-nilai dan menghidupkan kembali tradisi yang ada di masyarakat Bali.m dipimpin oleh Direktur Pembudayaan Pancasila, ibu Irene Camelyn Sinaga dengan anggota tim diantaranya, ibu Nia Syarifudin, Paul Hendro, Taufiq Rahzen, Zastrouw dan beberapa staf dari BPIP.

Untuk menggali informasi dan praktek hidup yang bisa menjadi contoh dalam pembudayaan Pancasila, tim melakukan kunjungan ke sanggar dan komunitas serta berdiskusi dengan para pelaku seni dan penggerak budaya.

Pada kesempatan ini kami mengunjungi sanggar Paripurna pimpinan Made Sidia, Taman Nusa dan berdiskusi dengan Ranu Dibal (penggerak seni budaya dari komunitas Kitapoleng), Made Sidia (pemimpin sanggar Paripurna), Gung Dhe (Pengggerak budaya dan seniman Bali) serta Yudha Bantono (penggiat Seni budaya dan penggagas berbagai festival di Bali)

Melalui festival, berbagai tradisi yang hampir mati kerena tidak memiliki ruang ekspresi akhirnya bisa bangkit dan hidup kembali. Selain itu, festifval juga memiliki dampak yang signifikan untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Memang kadang terjadi tarik menarik antara kepentingan ekonomi dengan upaya menggali dan menghidupkan kebudayaan, namun hal ini bisa disinergikan secara kreatif.

Made Sidia, menjelaskan keberadaan sanggar Paripurna sebagai sarana merajut keberagaman dan membangun kebanggaan sebagai bangsa. Sanggar yang dirintis dan didirikan oleh Made Sidja, ayah Made Sidia, pada tahun 1990 ini sekarang memiliki 400 orang anggota dari berbagai usia dan profesi.

Sejak kepemimpinan di pegang Made Sidia, sanggar ini sudah menghasilkan berbagai karya seni kreatif dan inovatif yang ditampilkan di dalam maupun luar negeri. Beberapa kali mendapat pernghargaan tingkat internasional.


"Kami melakukan inovasi seni secara kreatif tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisional budaya Bali. Kami justru menjadikan nilai-nilai tradisional sebagai sumber inspirasi dan bahan yang bisa dikembangkan dalam konteks kekinian dan hal ini justru yang menarik masyarakat Internasional. Oleh karena itu sebenarnya kita harus bangga degan tradisi yang kita miliki" Kata Made Sidia semangat.

Hal senada juga disampaikan oleh Ranu Dibal, seorang seniman Bali yang menggali dan menghidupkan spiritualitas Bali. Dibal mengkaji beberapa naskah kuno dan lontar Bali yang mengisahkan pengembaraan tokoh spiritual abad ke-16 bernama Dang Hyang Nirartha. Tokoh ini diyakini sebagai sosok yang berpengaruh dalam membangun kebudayaan dan spiritual di Bali dan Lombok dengan cinta kasih.

Spiritualitas Dang Hyang Nirartha dan beberapa kisah lontar Bali ini dieksplorasi kemudiaan diekspresikan dalam berbagai bentuk karya seni: visual art, videografi, photografi, fine art, design kostum, seni enterteinment dan teater. Untuk merealisasikan missi tersebut Ranuh Dibal bersama Jasmine Okubo mendirikan komunitas Kitapoleng pada tahun 2015.

Dibal menjelaskan, inspirasi komunitas Kitapoleng ini dari filosofi Poleng Bali yang bermakna alam semesta diciptakan dalam kondisi berpasangan dengan sifat yang saling bertolak belakang, seperti hitam-putih, siang-malam, positif-negatif, benar-salah dan sebagainya. Dua hal yang bertentangan ini tidak untuk saling memusnahkan dan menghancurkan tetapi untuk berjalan secara selaras dan seimbang, saling melengkapi untuk mencapai tujuan akhir yang selaras.


Setelah berbagi pengalaman dan informasi mengenai nilai-nilai dan budaya Bali, tim melakukan kunjungan ke Taman Nusa. Taman yang berada di Gianyar merupakan obyek wisata budaya yang mecerminkan keberagaman Nusantara.

Berbagai indormasi digambarkan dalam bentuk narasi maupun bangunan. Tata ruang dan arsitektur ditata secara artistik dan natural, menyatu dengan alam dengan pemandangan yang indah.

Di lahan seluar 15 hektar itu dibangun sekitar 60 rumah adat tradisional yang mewakili suku-suku yang ada di Indonesia. Selain itu juga dibangun beberapa bangunan yang mencerminan perjalanan peradaban Nusantara. Dimulai dari jaman pra-sejarah dengan desain alam yang primitif, kemudian zaman perunggu, era kerajaan, masa kolonial sampai era kemerdekaan dan kekinian.

Di taman Nusa ini juga ada gedung pertunjukan, perpustakaan, ruang seminar dan museum. Kami melihat di sini merupakan tempat ideal untuk melakukan pendidikan kebangsaan dan pembudayaan Pancasila bagi generasi muda.

Tapi sayang, tempat ini hancur dan tidak terawat karena Pandemi. Bangunan yang artistik dan penuh makna ini lapuk dan dan ditumbuhi rumput liar karena tidak terawat. "Biasanya ribuan orang mengunjungi tempat ini dalam seminggu, tapi sejak pandemi Covid-19, hampir tidak ada orang yang mengunjungi tempat ini" demikian kata petugas yang masih setia menjaga tempat ini.

Batin kami semakin teriris saat melihat tempat pertinjukan dan galeri bertaraf internasional itu rusak dan bocor di beberapa tempat. Lebih teriris lagi saat melihat beberapa koleksi benda antik yang ada dimuseun teronggok dan lapuk karena tidak terawat. "Pandemi telah membuat kami harus berangkat dari minus, bukan hanya dari nol" kata penjaga galeri.

Hari berikutnya kami kembali berdiskusi untuk merumuskan strategi pembudayaan Pancasila berdasar pengalaman para seniman dan pelaku budaya Bali. Penulis berkesempatan memandu acara diskusi.

Paul Hendro, seorang pelukis, menyatakan perlunya membuka ruang kreasi yang bisa membuat semua orang bisa berinteraksi secara bebas dan nyaman. Dengan cara ini berbagai perbedaan akan dapat didialogkan secara alamiah sehingga nilai-nilai Pancasila akan bisa diaktualisasikan dan dipraktekkan dalam kehiduan nyata.

Ada hal menarik yang disampaikan Gung Dhe, seorang penggerak sosial dan aktivis kebudayan Bali yaitu pentingnya menggali khazanah kebudayaan dan tradisi Nusantara sebagai sumber kreatifitas untuk pembudayaan Pancasila.

Menurut Gung Dhe, ada banyak konsep dari ajaran leluhur yang bisa dikembangkan,seperti "desa, kale, patre".
"Desa" mencerminkan dimensi ruang yang membentuk kesadaran spatial. Artinya aktualisasi Pancasila harus memperhatikan kodisi ruang Indonesia yang beragam. "Kale" berarti waktu, artinya pembuadayaan Pancasila harus memperhatikan dimensi waktu yang selalu berubah. "Patre" adalah keadaan sebagai cerminan dari ruang dan waktu. Ketiga dimensi ini harus selalu diperhatikan dan menjadi kesadaran bagi setiap pelaku pembudayaan Pancasila.

Selanjutnya Gung Dhe menjelaskan konsep "langon, ingon dan angon". "Langon" adalah sikap sadar, eling, mengenali diri dan alam; "Ingon" adalah berarti menguatkan kembali (revitalisasi); "angon" berarti mengelola atau berkarya.

Ketiga konsep ini merupakan siklus untuk menjaga keselarasan hidup. Agar hidup ini bisa damai maka seseorang harus selalu ingat, eling dengan cara mawas diri. Dari sini akan timbul kekuatan diri melakukan revitasisasi yang diwujudkan dalam berbagai karya untuk mengelola kehidupan.

Untuk bisa melakukan hal tersebut perlu mengkaitkan antara situs, ritus dan status. Selama ini terjadi hubungan yang terpisah antara situs dan status. Situs hanya menjadi benda mati yang tanpa makna, karena kehilangan ritus. Sebaliknya ritus yang dilakukan tidak berbasis pada situs yang ada, akibatnya kehilangan spirit dan ruh.

Akibat hubungan yang terpisah ini, maka situs dan status menjadi kehilangan status, tidak memiliki legitimasi.

Pancasila akan menjadi situs mati jika tidak memiliki ritus yaitu laku hidup yang mencerminkan nilai-nilai dan spirit Pancasila. Jika sudah demikian maka Pancasila akan kehilangan status karena hanya menjadi kata-kata, atau dilindas oleh ritus-ritus yang sama sekali tidak tertaut dengan situs (Pancasila).

Jika dicermati konsep-konsep ini berbentuk tiga dimensi yang menyatu dan berkelindan. Konstruksi ini sebangun dengan konsep "tri hita krana", suatu konsep spiritual dan kearifan lokal yang menjadi falsafah hidup masyarakat Bali yang bertujuan membentuk keselarasan hidup yang terbangun atas hubungan yang seimbang antara tiga aspek dalam kehidupan yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan sesama manusia.

Dari perbencangan ini kami melihat betapa banyak kearifan lokal warisan leluhur yang bisa kita gali untuk dijadikan sumber pengetahuan dalam menjawab realitas kekinian.

Konsep tri hata karana yang tercermin dalam pola tiga demensi yang berkelindan ini layak digali lebih dalam agar bisa diaktualisasikan untuk dijadikan pijakan dalam menyusun strategi pembudayaan Pancasila. (Tamat)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar