Selasa, 02 Februari 2021

Para Inspirator Penggalian Pancasila di Ende , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #7

Para Inspirator Penggalian Pancasila di Ende
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #7

Para Inspirator Penggalian Pancasila di Ende

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


WAKTU sudah menunjukan jam 13.00 kami segera meninggalkan rumah pengasingan Bung Karno menuju Biara Santo Yosef Ende, tempat bersejarah yang memiliki peran penting dalam proses penggalian Pancasila.

Tiba di biara kami disambut hangat oleh Peter Henri Darosj, salah seorang pengelola Biara. bangunan biara ini berada di puncak bukit kecil dengan suasana yang teduh dan nyaman. Ada 45 tangga untuk bisa mencapai bangunan tersebut.

Di ujung tangga Peter Darosj menyapa kami dengan ramah, sambil berdiri dia menjelaskan bahwa dahulu Bung Karno selalu melawati tangga ini ketika mengunjungi Biara Santo Yosef. Dan biasanya di tempat ini pula Soekarno disambut para pastor yang menjadi sahabatnya.


Rombongan diajak keliling melihat beberapa tempat yang ada di kompleks biara yang sering ditempati Bung Karno, seperti serambi tempat Bung Karno duduk merenung memandang laut (sekarang tempat ini diberi nama Serambi Bung Karno. Di sini dibangun patung Bung Karno dalam keadaan duduk di kursi menghadap ke laut), ruang baca Bung Karno dengan beberapa koleksi buku yang sering di baca, ruangan tempat ngobrol dan berdiskusi dengan para pastor.

Setelah berkeliling melihat tempat bersejarah di Biara Santo Yosef, kami berkumpul di serambi untuk mendengarkan penjelasan Pater Henri Darosj. Banyak hal menarik dan data-data sejarah penting yang disebutkan oleh Peter Henri.

Beberapa hal menarik yang sempat penulis catat diantaranya penjelasan Pater Henri mengenai kedekatan Soekarno dengan para Pastor dan Bruder yang ada di Biara Santo Yosef Ende. Disini Bung Karno berkesempatan mengenal lebih dalam agama Katolik dan menggali nilai-nilai kemanusiaan dengan bertukarpikiran dengan para Pastor, terutama Pater Hujtink dan Pater Bouma.

Oleh kedua pastor ini Bung Karno diberi akses seluas-luasnya untuk membaca seluruh koleksi buku yang ada di perpstakaan Biara. Bisa dikatakan Bung Karno merupakan tamu tetap kedua pastor tersebut, sehingga menjadi sahabat akrab sampai akhir hayat.

Pertemuan Bung Karno dengan para Pastor di biara Santo Yosef merupakan pengobat dahaga intelektual Bung Karno selama berada di pengasingan.

Hari-hari pertama di pengasingan mengalami stress. Disebutkan Henri Darosj, Bung Karno mengibaratkan dirinya seperti seekor brung elang yang sudah terpotong sayapnya. Seekor burung perkasa yang kini tidak berdaya. Semangat yang luruh ini kembali bangkit ketika menemukan sumber pengetahuan dan teman bertukar pikiran di biara Santo Yusuf. Di tempat ini Soekarno membaca tiga buku Ensiklij yang berisi tentang peri kemanusiaan, kesetaraan dan buruh

Dalam kesempatan ini Peter Handri banyak mengungkap kisah menarik hubungan Bung Karno dan kedua pastor tersebut, mulai dari sisi intelektual, kemanusiaan sampai mistis.Diantaranya ramalan Pastor Huijtink bahwa Soekarno akan jadi presiden. Mengingat peran penting biara Sato Yusuf dalam kehidupan dirinya, saat menerima anugrah Doktor Honoris Causa Soekarno pernah menyebut diriya berhutang budi pada Santo Yosef Ende.

Selanjutnya, Peter Hendri menjelaskan peran para Pastor dalam mendukung gerakan kebudayaan Bung Karno. Dijelaskan, ketika Soekarno kebingungan untuk mencari tempat pementasan drama tonilnya, maka Pater Huijtink bersedia membantu Bung Karno dengan menyediakan gedung Immaculata yang merupakan gedung paroki katedral untuk tepat pentas.

Di tempat inilah seluruh naskah tonil Bung Karno yang berjumlah 13 naskah bisa dimainkan. Judul naskah-nasah tersebut adalah Dokter Setan, Rendo, Rahasia, Kelimutu, Jula Gubi,Kut Kubi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.

Para pastor ini tidak hanya meminjami gedung Immaculata menjadi tempat pentas tetapi juga menyediakan perlengkapan produksi lainnya, seperti kursi, listrik sampai cat untuk untuk mewarnai layar sandwara. Bahkan percetakan untuk mencetak tiket pertunjukan dicetak di percetakan Arnoldus, milik para pastor dan bruder Serikat Sabda Allah (SVD), satu-satunya percetakan yang ada di Ende dengan paralatan yang paling canggih pada saat itu.

Selain bercerita tentang hubungan para Pastor Biara Santo Yosef dengan Bung Karno dan perannya mendukung gerakan dan pemikiran Bung Karno, Pater Henri bercerita tentang peran seseorang maupun masyarakat dalam proses penggalin Pancasila di Ende.

Salah satunya adalah cerita Henri tentang seorang Tiong Hoa bernama Ang Hoo Lian. Dia adalah seorang pedagang yang selalu berlayar dari Surabaya-Ende. Melalui saudagar Cina inilah Soekarno berkomunkasi dengana teman-teman seperjuangannya di Jawa. Sekarno tidak pernah kirim surat melalui pos, terutama surat-surat yang sifatnya khusus karena khawatir disensor oleh pihak Belanda.

Untuk menghindari kecurigaan bihak Belanda, surat-surat itu dimasukkan ke dalam keranjang sayur.

"Di ende, surat-surat tersebut diserahkan kepada Sian Tik, pemilik toko De Leeuw untuk selanjutnya dibawa oleh Ang Hoo Lian. Di waktu sore Bung Karno sengaja datang bertamu ke toko tersebut untuk mengambil surat-surat dari para temannya di Jawa sekaligus mengantar surat yang telah ditulisnya utuk dikirim ke Jawa. Sering kali surat-surat tersebut diantar oleh orang Tiong Hoa tersebut ke rumah Bung Karno secara sembunyi-sembunyi" demikian penjelasan Peter Henri.

Kelompok lain yang berjasa dalam membangun proses kreatif Bung Karno selama berada di pengasingan adalah para anggota dan pemain klub tonil Kelimutu, suatu kelompok sandiwara yang didirikan oleh Bung Karno di Ende.

Menurut paparan Peter Henri, jumlah anggota dan pemain klub tonil ini ada 47 orang, diantara adalah Joe Bara, Roslan Otto, Matheus dan Ibrahima, Darham dan Riwu. Para anggota klub ini terdiri dari rakyat biasa, ada nelayan, montir, pedagang dan petani. Mereka ini tidak saja beragam dari latar belakang sosial dan profesi, tetapi juga beragam keyakinan dan agama.

Para anggota klub tonil ini tidak sekedar menjadi pemaian sandiwara, tetapi merupakan komunitas yang memiliki peran penting dalam menumbuhkan proses kreatif Bung Karno selama berada di pengasingan.

Permainan sandiwara tonil tidak sekedar pertunjukan hiburan, tetapi menjadi mata rantai yang tak terpisahkan dari gerakan sosial dan pemikiran Bung Karno dalam menggali Pancasila.

Paparan Peter Hendri Darosj ini menunjukkan pada kita betapa banyaknya kelompok masyarakat yang turut andil dalam proses penggalian Pancasila ini. Mulai rakyat jelata, para pastur yang notabenenya orang asing bahkan saudagar Tiong Hoa, memiliki peran besar dalam perenungan Pancasila yang dilakukan Soekarno

Di Ende Soekarno tidak hanya menjadi orang yang matang berpikir, tetapi juga orang yang kuat beragama. Melalui perjumpaan dengan berbagai kalangan masyarakat inilah spirit religiusitas Bung Karno menjadi semakin dalam, lapang dan kokoh. Di sini Bung Karno semakin memantapkan gagasannya bahwa dalam pemahaman dirinya sebagai seorang Muslim tidak ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme.

Bahkan secara tegas Soekarno menyatakan bahwa Islam tidak bertentangan dengan Nasionalisme yang luhur. Jika ada pandangan yang mempertentangkan Islam dan Nasionalisme maka terjadi kesalahan dalam menafsirkan Islam. Islam hanya bertentangan dengan nasionalisme ketika nasionalisme itu bersifat sempit, yaitu nasionalisme yang membuat satu bangsa membenci bangsa yang lain atau memecah belah (provinsialisme) (Henri Darosj Dkk, 2015;71).

Banyaknya jejak sejarah tentang andil kelompok masyarat dalam proses penggalian Pancasila di kota Ende, mengkorfirmasi pernyataan Soekarno:

"Di kota ini (Ende) kutemukan lima butir mutiara dan di bawah pohon sukun aku menemukannya"

Penemuan lima mutiara ini terjadi karena Ende merupakan tempat pematangan diri dan pemikiran dengan cara memperluas pengetahuan dan memperdalam imannya terhadap Islam. Dan di sisi lain Bung Karno memperdalam dan memperluas pengetahuannya terhadap agama Kristen melalui pergaulannya dengan para Pastor.

Selain itu, di Ende ula Soekarno bertemu dengan masayrakat yang beragam sehingga memperkaya pengalaman batin dalam merawat keberagaman Nusantara.

Tak terasa lebih dua jam kami mendengarkan penjelasan Peter Henri yang menarik karena banyak informasi yang menurut kami baru dan otentik, seperti peran penting seorang saudagar Tiong Hoa dan para pemain klub sandiwara tonil.

Tapi kami harus meneruskan perjalanan mengunjungi pohon Sukun tempat Bung Karno merenung, sehingga menghasilkan lima butir mutirata yang kemdian disebut Pancasila. (Bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar