Selasa, 02 Februari 2021

Pesantren Walisanga Ende; Menanamkan Toleransi dan Moderasi Sejak Dini , Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #8

Pesantren Walisanga Ende; Menanamkan Toleransi dan Moderasi Sejak Dini 
Catatan Anjangsana Pancasila oleh BPIP ke NTT - Bali #8

Pesantren Walisanga Ende; Menanamkan Toleransi dan Moderasi Sejak Dini

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw
Penulis adalah Seorang Budayawan dan Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia


DIPERLUKAN waktu sekitar 20 sampai 30 menit dari pohon sukun bersejarah tempat Bung Karno merenung untuk sampai di lokasi Pesantren Walisanga. Lokasinya agak di pinggir kota, berada di lereng bukit dengan jalan sempit dan berliku, bahkan di beberapa ruas masih berupa jalan tanah belum diaspal.

Saya membayangkan kalau musim hujan jalan itu akan sulit dilewati karena berlumpur. Bangunan pesantren yang terletak di bawah kaki gunung Meja di Kecamatan Ende Selatan ini sudah lumayan bagus, ruang kelas dan asrama sudah tergolong layak. Suasana alam yang indah dengan latar belakang panorama gunung Meja yang menawan, membuat pesantren ini semakin menarik.

Kami datang disambut hangat oleh seluruh santri dan pengasuh. Setelah dijamu makan siang, kami disuguhi tarian yang dimainkan oleh para santri. Mereka menampilkan tarian yang baru saja diajarkan oleh mbak Wina, salah seorang anggota tim BPIP yang kebetulan pelatih tari.


Setelah itu kami berdialog dengan pengasuh dan para santri. Kami menggali pengalaman hidup dan praktek berpancasila yang dilakukan oleh para santri dan pengasuh pesantren.

Pendirian Pesantren Walisanga Ende dirintis oleh KH. Mahmud Eka, seorang pengamal thareqat Qadiriyah-Naqsabandiyan. Beliau merintis pesentren ini bersama sahabatnya yang kebetulan ayah kandung budayawan Taufiq Rahzen.

Diceritakan oleh bu Nyai Halimah, salah seorang putri alm. Mahmud Eka yang sekarang menjadi pimpinan pesantren, ada berbagai hambatan saat merintis berdirinya pesantren ini.

Dengan perasaan haru bu Nyai Halimah mencertakan bagaimana ayahnya, KH. Mahmud Eka mendapat fitanah keji sampai acaman fisik saat merintis berdirinya pesantren yang mengajarkan Islam yang damai dan moderat. Pernah difitnah memakan uang yayasan, dituduh menjual agama sampai acaman fisik mau dibunuh dan disiksa.

"Karena tidak tahan menerima tekanan dan firnah, ibu dan anak-anak pernah meminta abah berhenti merintis pesantren" demikian bu nyai Halimah berceritaa pada kami.

"Tapi semua itu tak menyurutkan niat abah untuk terus berjuang merintis pendirian pesantren ini, hingga pelan-pelan akhirnya pesantren berkembang seperti sekarang ini" Tambahnya.

Dsebutkan oleh Nyai Halimah, meski banyak yang menentang, tapi banyak juga pihak yang mendukung pendirian pesantren ini, misalnya para pastor yang ada di biara Santo Yosef dan beberapa seminari.

Yang menarik dari pesantren Walisanga Ende ini adalah praktek hidup toleransi dan moderasi beragama. Di pesantren ini, moderasi dan toleransi tidak diajarkan sebagai pengetahuan atau norma-nomra tekstual, tetapi dipraktekkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pater yang ikut membantu menjadi tenaga pengajar dan tinggal di pesantren.

Kami sempat bertemu dengan pater Pras, sebut saja namanya begitu, yang sudah bertugas di pesantren Walisanga selama hampir 1,5 tahun. Kepada kami peter Pras menjelaskan bahwa dia berasal dari seminari yang ada di Manggarai. Dia bertugas sejak 13 Juli 2019, menggantikan seniornya yang sudah menyelesaikan masa bakti pengabdian di pesantren ini.


Waktu pertama kali bertugas ke pesantren dia sempat shock, karena sama sekali belum bisa membayangkan situasi pesantren. Apalagi saat itu dunia medsos sangat serem menggambarkan kondisi pesantren.

"Info-info di medsos tentang pesatren yang saya baca di medsos membuat saya semakin shock" demikian dia bercerita pada kami.

"Ini terjadi karena para senior yang pernah bertugas di pesantren tidak memberi informasi apapun kepada kami. Bahkan menunjukan tempat pesantren inipun mereka tdak diperbolehkan. Kami harus cari sendiri dimana pesantren ini berada" kisahnya lebih lanjut.

"Tapi setelah kami berada di pesantren, semua bayangan dan ketakutan itu hilang. Para ustadz, pengasuh dan santri di sini menerima kami secara terbuka dan ramah. Kami diperlakukan secara baik, tak ada sekat apalagi perbedaan, di sini kami sudah seperti saudara" demikian Fater Pras menceritakan pengalamannya.

Di pesantren ini Pater Pras melatih kesenian, terutama musik dan vocal. Selain itu dia juga mengajari berbagai ketrampilan, seperti beternak lele, bertani sapai membatik dan menenun. Berbagai kegiatan ketrampilan ini sangat bermanfaat, tidak hanya meningkatkan soft skill para santri tetapi juga bisa menopang ekonomi pesantren.

Misalnya, selama pandemi Covid-19 yang menurunkan pendapatan pesantren dari donatur, maka hasil beternak lele dan beberapa produk kerajinan pesantren bisa menjadi penopang kebutuhan santri.

Para pater yang bertugas di pesantren Walisanga ini tidak hanya membantu pendidikan untuk peningkatan skill dan pengetahuan para santri, tetapi juga di bidang spiritual dan ritual. Misalnya, para pater ini juga bertugas membangunkan para santri untuk shalat tahajut dan shalat subuh. Menyediakan air wudlu dan kebutuhan ibadah lainnya.

"Saat para santri shalat, kadang kami melakukan ibadah di kamar atau di serambi pesatren dekat masjid" demikian pater Pras bercerita dengan senyum bahagia.

Secara fisik dan tampilan tak ada perbedaan antara para pengasuh dan santri dengan pater. Penulis sendiri tidak mengenali mana pater dan mana santri, sehingga sempat bertanya pada pengasuh mana pater yang ikut mengajar di pesantren. Kemudian berdirilah sosok yang pakai gamis putrih, menggunakan iket kepala batik. Tampilannya sudah seperti kyai dan ustadz, kemudian memperkenalkan diri sebagai pater.

Selanjutnya bu Nyai Halimah menjelaskan bahwa pesantren ini sering kekurangan logistik, maklum hampir semua santri yang ada di pesantren Walisanga ini adalah gratis, hanya beberapa orang yang mampu saja yang membayar, itupun tidak seberapa jumlahnya, karena mayoritas santri dari kalangan bawah.

"Kami sering pusing dan sedih ketika cadangan logistik menipis dan belum ada kiriman dari donatur. Pada saat seperti ini saya hanya bisa berdo'a dan memohon kepada Allah untuk membukakan pintu rejeki" cerita bu Haiman sambil menahan air mata.

"Pada saat seperti itu, seringkali tiba-tiba datang kiriman beras dan kebutuhan lain dari seminari, biara Santo Yosef dan gereja untuk para santri", kisahnya dengan suara yang makin serak menahan haru.

Ada kisah menarik dari bu Nyai Halimah, banyak orang tua santri yang selama anaknya mondok dipesantren belum pernah sekalipun datang ke pondok menemui pengasuh. Dia sering sedih saat melepas santri yang telah lulus tapi orang tuanya belum pernah sekalipun datang ke pondok.

"Jangankan ucapan terima kasih, datang ke pondok sekalipun belum pernah. Tapi saya maklum, karena untuk datang ke sini diperlukan biaya, sedangkan mereka rata-rata dari keluarga tidak mampu" Demikian Nyai Halimah menuturkan.

Ketika ditanya, bagaimana para santri bisa sampai ke pesantren sementara orang tua mereka tidak pernah mengantarkan apalagi menyerahkan ke pihak pesantren? Menurut bu Nyai Halimah, para santri yang tidak diantar orang tuanya itu biasanya datang diantar teman yang pernah nyantri di pesantren ini, atau teman yang tahu pesantren ini. Santri yang seperti inilah yang biasanya tidak pernah dikunjungi orang tuanya sampai mereka lulus.

Selain menanamkan toleransi dan moderasi beragama, pesantren Walisanga ini juga menjadi contoh kepemimpinan perempuan di kalangan pesantren. Sebenarnya ada beberapa saudara lelaki yang secara keilmuan layak memimpin pesantren, karena mereka jebolan pesantren terkenal di Jawa, seperti pesantren Ploso Kediri, Liboyo, Gontor dan lain-lain.

"Tapi entah mengapa saudara saya yang lelaki tidak ada yang kuat memimpin pesantren ini, sehingga akhirnya saya yang perempuan, dan kebetulan bukan alumni pesantren, harus meneruskan perjuangan orang tua mengelola pesantren ini" demikian bu nyai Haimah mengisahkan.

"Meski hanya dengan kemamapuan apa adanya, tapi alhamdulillah pesantren bisa berkembang seperti ini. Saya cukup bersyukur dengan keadaan ini" lanjutnya

Secara fisik, bangunan pesantren ini memang sudah cukup lumayan. Ada gedung sekolah permanen, dua unit bangunan rusunawa empat lantai untuk asrama santri, masjid dan perpustakaan. Bahkan di pesantren ini ada museum Pancasila yang menyimpan beberapa benda, buku dan naskah yang terkait dengan Pancasila. Keberadaan museum Pancasila ini atas prakarsa dan sumbangan dari budayawan Taufiq Rahzen.

Terus terang saya merasa kagum pada pesantren ini, yang mampu menanamkan nilai-nilai toleransi dan moderasi beragama sejak dini melalui laku hidup. Pesantren ini mampu menempatkan aspek teologis dan sosiologis beragama secara tepat.

Di pesantren ini aspek teologis beragama ditempatkan dalam ruang batin setiap individu, yang dijaga dan dirawat secara baik oleh masing-masing individu. Sedangkan aspek sosial ditempatkan di ruang publik yang bisa dinikmati secara bersama-sama sebagai ekspresi dan manifestasi spirit teologis dari masing-masing pemeluk agama.

Dengan cara ini tidak terjadi benturan teologis dari penganut agama yang berbeda dalam ruang sosial.

Pesantren Walisanga Ende telah mengajarkan bangsa ini bagaimana menjaga toleransi dan moderasi bergama secara indah, karena nilai-nilai itu ditanamkan sejak dini dengan cara-cara yang indah dan beradab. Di pesantren ini kami melihat Pancasila begitu indah dan nyata. (Besambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar